Social Icons

Pages

Rabu, 04 Juli 2012

Salahkah Jika Saya Bersikap Kritis dan Menuntut Pelayanan RS/Dokter di Indonesia?


Twitterland, 30 Jun 12

Tentu saja banyak Pro Kontra dari teman2 yg Dokter dan Non Dokter. Namun intinya, hampir semua sepakat tentang kualitas jelek pelayanan RS & Dokter di Indonesia.

2 hari terakhir ini saya dan teman2 meramaikan TL dgn diskusi tentang Kualitas Pelayanan RS/Dokter Indonesia yg buruk. Saya menghargai semua pendapat tersebut karna tujuan kita adalah Peningkatan Pelayanan RS/Dokter utk seluruh pasien/keluarga pasien.

Peningkatan pelayanan RS/Dokter terhadap pasien tidak terlepas dari 5 faktor:
  1. Dokter
  2. RS
  3. Farmasi/Alkes
  4. Pemerintah/Regulator
  5. Konsumen
Dari ke 5 Faktor tsb, yg sudah ada usaha serius utk perbaikan Pelayanan RS/Dokter hanya baru dari pasien. Pemerintah, Dokter, Farmasi, RS belum. Meski sudah ada UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit yg Melindungi Hak dan Kewajiban RS-Pasien/Konsumen, UU itu belum diterapkan sepenuhnya. Disamping itu tentu berlaku UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yg juga bisa jadi dasar perlindungan terhadap pasien dan keluarganya.

      Kita sepakat bahwa tidak semua RS/Dokter itu jelek kualitas pelayanannya, sebagian kecil sudah mulai membaik meski belum sepenuhnya memuaskan. Dalam hal Standar Pelayanan RS tentu saja kita harus mempunyai acuan Standar/Benchmark yg dijadikan dasar penilaian kualitas pelayanan RS. Memang tdk adil jika kita pakai acuan Standar Pelayanan dari RS/Dokter Singapore. Tapi sangat wajar jika kita pakai Standar Pelayanan Malaysia.

Malaysia tidak begitu jauh perbedaan tingkat pendapatan dan kesejahteraannya dgn Indonesia. Tp pelayanan RS/Dokternya seperti langit dan bumi. RS Malaysia dulu belajar dari RS Indonesia. Bahkan sampai sekarang pun ratusan mahasiswa Malayasia kuliah di FK Indonesia, utamanya USU Medan.

Lalu kenapa RS/Dokter Malaysia bisa mencapai pelayanan yg sangat bagus sedangkan RI sangat jelek? Ini terkait masalah Moral dan Hukum.

Terkait masalah Moral, RS/Dokter2 Indonesia sebagian besar tdk jalankan Kode Etik, Sumpah dan UU yang ada. Moral Hazardnya tinggi. Sebagai contoh, ini pengalaman pribadi saya: bagaimana mungkin seorang dokter utama di ICU (marhum bonar) hanya visit pasien 1 kali dalam 1 minggu?

UU Kita jelas menyebutkan seorang Dokter maksimum hanya boleh kerja di 3 RS. Tapi kenapa Dokter2 kita sulit dijumpai di RS? Kemana mereka??

      Saya bukan dokter, tdk tahu apa saja aktivitas dokter2 kita. Tapi sgt tdk masuk akal jika dokter2 hanya visit 1 -2 kali dgn waktu 5-19 menit. Apa yg bisa diberikan dokter jika hanya visit pasien 5-10 menit itu? Dan lalu dgn entengnya katanya nanti bisa kasih arahan perawat by phone. Sepertinya tdk ada tanggung jawab moral terhadap pasienya. Pasien hanya Objek. Tdk ada keseriusan/concern Dokter/RS utk cepat sembuhkan pasien.

Kenapa bisa berbeda dgn pelayanan RS/Dokter di Malaysia? Padahal tarifnya sama bahkan lebih murah daripada Indonesia.

Contoh: Untuk RS SWASTA terbaik di Penang, Malaysia (Adventis dan LWEH) tarif kamar hanya M$ 20-50 (Rp. 50 - 125 ribu) per hari. Untuk tarif kamar di RS Swasta itu sudah setara kualitasnya dgn Kamar RS kelas I di Jakarta. Pelayanannya? Jauh lebih bagus. Dokter2 24 jam. Bahkan utk Rawat Jalan pun Pelayanan RS/Dokternya 24 jam. Pasien Rawat Jalan di Malaysia setiap hari ditelp Dokter/RS utk monitor pasien.

      Apakah pasien rawat jalan di Indonesia pernah ditelp RS/Dokternya utk tanyakan kondisi pasiennya? Mungkin ada. 1-2 RS/Dokter. Apalagi utk pasien yg dirawat di ICU umumnya RS/Dokter hobi bikin keluarga pasien jadi "GILA" dgn tindakan2 RS/Dokternya. Semua jenis pemeriksaan lab dilakukan, semua alat dipakai, semua obat ditebus oleh keluarga pasien. RS cetak billing sebesar2nya. 

      Apakah keluarga pasien bisa tahu perkembangan pasien? Bisa. Tapi harus nyinyir, kritis, marah2, rajin cari dokter yg keberadaanya kayak hantu.

Mau contoh nyata: Ibu saya disebutkan ditangani oleh 4 Dokter Spesialis (bonar mahrum, garjito, fredi, fahrial). Hanya 1 kali ketemu 1 dokter. Ketika saya tanya mana dokter2nya? Dokter ICU jawab: tadi sdh datang jam 6 pagi pak. Sekarang sdh pergi lagi! Hebatkan ?? Padahal saya diawal sdh buat surat permintaan:
  • 1. Semua dokter bisa saya temui secara bersama2.
  • 2. Tindakan medis penting subject to appv.

Ada lagi yg lebih "hebat" terkait Pelayanan RS/Dokter? Keluarga pasien disuruh tanda tangan bahwa 3 Dokter sdh pernah visit pasien padahal tidak.
Lalu siapa yg diandalkan selama pasien ICU? Satu Dokter jaga (anestesi) dan perawat. Mereka bertindak atas arahan dokter via phone. Hebat!

Ada lagi yg lebih hebat? Dokter utama (marhum bonar) ternyata pergi acara seminar di Balikpapan. Pasien2nya dia tinggalkan. Luar biasa!

Kembali ke pelayanan RS/Dokter. Pasien yg tdk dimonitor dokter sebagaimana mestinya, kondisinya hanya tergantung pada kuasa Tuhan? Menyedihkan!
Apakah pelayanan RS yg menyedihkan itu murah? Tidak. Selama 9 hari di RS keluarga pasien sdh habis biaya 80 juta. Hasilnya: NOL!!

Kenapa tdk dipindahkah saja ke LN? Kondisi pasien nontransportable/non transferable. Pasien tdk pernah membaik. Disengaja? Wallahualam

Apakah tidak bisa digugat? Bisa. Saya akan menggugat secara hukum perdata dan pidana pada RS/dokter ini setelah pasien keluar dari RS. Mungkin penegakan hukum dan penerapan UU yg keras dan adil thdp RS/dokter dapat menjadi awal peningkatan pelayanan RS/dokter di Indonesia. UU kita termasuk KUHP jelas menyebutkan bhw tindakan kelalaian yg menyebabkan kerugian pada orang lain dapat dituntut pidana dan perdata.

      Selama ini mayoritas RS/dokter di Indonesia tdk pernah menganggap pasien itu sebagai konsumen yg harus dilayani sebaik2nya. Hanya sebagai ATM. Biaya investasi yg besar selalu dijadikan alasan bagi RS utk menipu atau perdaya pasien/konsumennya. Belum lagi praktek mafia farmasi.

Coba baca ini >> http://othervisions.wordpress.com/2011/07/12/nikmatnya-berobat-ke-penang/ (nikmatnya berobat ke penang), RS/dokter di LN malah hindari penggunaan obat semaksimal mungkin pada pasiennya. Beda dgn di RI

Lalu sampai kapan pelayanan RS di Indonesia bisa membaik?

Pelayanan RS kita sangat liberal. Tdk ada kontrol ketat dari negara. Belum lagi sikap mental sebagian dokter yg sangat jelek. Tidak mau dengar keluhan dan pertanyaan pasien apalagi masukan. Mau contohnya?

      Saya punya sakit maag, datang ke Dokter yg juga professor. Saya sdh jelaskan semua, termasuk tentang maag saya yg sdh belasan tahun. Dia ga peduli. Dokter itu kasih obat kepada saya. Saya lupa namanya. Obatnya kecil seperti padi. Minum setengah. Saya langsung lunglai, ga bisa berdiri. Saya datangi dokter itu lagi dan tanya obat apa itu. Ternyata obat stress. Hampir dokternya saya gebuki. Padahal sdh saya kasih informasi lengkap. 

Maag saya menurut dokter keluarga dulu (Prof. Azhar Tanjung) adalah akibat urat syarat di punggung yg sebabkan produksi asam lambung tinggi. Sekarang maag saya sdh sembuh ketika berobat di RS Advenstis Penang. Tdk dioperasi. Punggung saya hanya ditekan dgn alat dan kemudian disuntik. Padahl menurut RS di Indonesia, punggung saya harus dioperasi dgn kemungkinan ada risiko lumpuh. Gila ga?? Berapa biaya berobat di Penang itu?

Biaya menyembuhkan maag saya di RS Adventis Penang hanya M$ 120 ( Rp. 350.000) !! Sudah semuanya diluar tiket pesawat Jakarta -Penang.

Salahkah saya bersikap kritis dan menuntut pelayanan RS Indonesia yg baik, profesional dan murah? Menuntut diagnosa dan tindakan yg tepat?

2 komentar:

  1. Istri saya meninggal setelah melahirkan di sebuah RS swasta di Parung Bingung, Depok. Padahal, kalau dokternya bertindak tepat, kami yakin nyawa istri saya bisa terselamatkan. Kemana kami harus mengadu?
    http://mimiadelita.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Saya sangat sepakat dengan postingan ini, cmn ada sedikit koreksi tentang tingkat pendapatan. Bila dibandingkan pendapatan perkapita Malaysia-Indonesia sangat jauh, Malaysia di kisaran 14.000 usd sedangkan Indonesia hanya 4.000usd.
    Salam

    BalasHapus