Twitterland, 7:11 PM - 3 Jul 12
Eng ing eeeng..saya akan terangkan tentang Kasus Korupsi Proyek Pertamina senilai US$ 99 juta, yang Diduga Melibatkan Sandiaga Uno. Sebelumnya, untuk mendapatkan pemahaman lebih utuh, saya sampaikan kronologis tentang proyek dan modus korupsinya.
Pada tgl 26 Maret 1996, Pertamina (diwakili dirut Faisal Abda'oe ) dan PT. Pandan Wangi Sekartaji (PWS) diwakili dirut Jhony Hermanto. Melakukan Penandatangan Perjanjian Pembangunan, Pengoperasian, Penyewaan Pemeliharaan Depot Satelit A Jakarta, No. 0417/C000/96-S55.
Pada tgl 1 Desember 1998, Pertamina melalui surat No. 1396/F0000/98-S5 memberitahukan bahwa Proyek harus dievaluasi dan negosiasi ulang. Sesuai hasil Tim Evaluasi, Proyek Depo tsb hanya berhasil dikerjakan 28.99% dari kewajiban PWS.
Pada tgl 31 Januari 2000, Pertamina surati lg. Melalui surat No. 119/F0300/98-S5 menegaskan bahwa Pekerjaan PWS hanya mencapai 29% dari total kewajibannya.
Pada tgl 16 Februari 2001, Pertamina dan PWS sepakat melakukan negosiasi ulang Biaya pembangunan Depo itu. PWS ajukan angka sekitar US$ 83 juta (belum termasuk biaya sewa). Sedangkan Pertamina ajukan Biaya Pembangunan sekitar US$ 63.5 juta & Biaya Sewa US$ 6.33 juta. Buntu. PWS ajukan biaya baru ke Pertamina. Melalui surat No. 018/PWS/III/2001 dan No. 019/PWS/IV/2001, PWS ajukan biaya sebesar US$ 75,2 juta dan Biaya Sewa US$ 8.5 juta. Namun Pertamina menolak perhitungan PWS tsb. Dan melalui surat No. 016/F0000/2010-5 putuskan untuk gunakan konsultan utk hitung biaya12.
Pada tgl 23 Juli 2001, melalui surat No. 035/F0Q00/2001-S5 Pertamina menyetujui penunjukan Konsultan Athur Andersen & Prasetio SC. Pada 21 November 2001, Athur Andersen & Prasetio SC usulkan hasil perhitungan : Biaya Bangun US$ 69,4 juta dan Sewa US$ 6.4 per Semester.
Pada tgl 14 Januari 2002, PWS melalui surat No. 01/PWS/I/2002 menyatakan persetujuannya atas hasil perhitungan konsultan kepada Pertamina. PWS juga mengatakan bahwa pihaknya siap dan bersedia melanjutkan kembali pembangunan Depo Satelit A Balaraja Pertamina itu.
Pada tgl 6 Juni 2002, PWS mengirimkan Surat Somasi ke Pertamina karna Pertamina belum juga menyetujui hasil perhitungan yg dibuat konsultan.
Pada Tgl 25 Juli 2002, Pertamina menyampaikan pemberitahuan kepada PWS bahwa pertamina blm bisa setujui biaya bangun sejumlah US$ 69 juta tsb.
Pada tgl 23 Septermber 2002, Pertamina menyampaikan bahwa BPK sedang menghitung progres pekerjaan yg sudah dilakukan oleh PWS. Ternyata selanjutnya Pertamina menyatakan bahwa Proyek tsb tidak bisa dilanjutkan, dan sesuai perjanjian Pertamina akan beri kompensasi.
Pada tgl 15 Januari 2003, Pertamina dan PWS sepakat menandatangani Surat Kesepakatan Bersama No. 017/E00000/2003-S0 tentang Kompensasi PWS. Kompensasi PWS yg disetujui adalah sebesar US$ 7.5 juta dan harus dibayarkan pada tgl 24 Januari 2003 kepada PWS. Namun Pertamina tidak bayar.
PWS tidak menerima keputusan kompensasi kerugian dari Pertamina tsb, dan mengajukannya ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Hasil keputusan BANI : Menghukum Pertamina untuk membayar kepada PWS sebesar US$ 20 juta, dan PWS menyerahkan Asset yang In Progress sejumlah US$ 29 juta. Kemudian Pertamina dan PWS sama2 tdk sepakat dlm perhitungan Working Progress yg telah dikerjakan PWS. Akhirnya disepakati sejumlah US$ 12.828. Kemudian tahap II dibayar sebesar US$ 6.4 juta, setelah PWS serahkan Sertifikat Tanah HGB No. 32 yg menjadi bukti kepemilikan atas lahan. Namun diketahui bahwa Sertifikat No. 32 yg diserahkan oleh PWS kepada Pertamina diketahui adalah Palsu. Sertifikat asli dimiliki orang lain.
Sebenarnya Oknum Pertamina & PWS sudah tahu bahwa Sertifikat No. 32 itu adalah Sertifikat Palsu. Namun pembayaran tahap II tetap dilaksanakan. Oknum Pertamina dan PWS "berspekulasi" dgn mengharap Pemalsuan Sertifikat tsb dan pengumuman Sertifikat hilang (bohong) itu.
Namun, meski begitu, PWS melakukan Pemalsuan Sertifikat HGB palsu dgn cara menerbitkan Sertifikat HGB No. 32 dgn Dokumen/Data Palsu. HGB No. 31 dinyatakan hilang oleh PWS dan mengumumkannya di media massa dgn harapan Edward Suryajaya tdk mengetahui/baca iklan tsb. Kemudian atas dasar laporan kehilangan Sertifikat HGB No. 31 itu, diterbitkanlah Sertifikat HGB No. 32. Oknum BPN juga terlibat disini. Penerbitan Sertifikat HGB No. 32 ini juga aneh. Karna biasanya Sertifikat HGB pengganti yg hilang diberikan Nomor Sertifikat yg sama. Kasus ini muncul ketika Edward Suryajaya selaku pemilik lahan/ pemegang Sertifikat HGB No. 31 mengetahui adanya pemalsuan HGB tsb. Oleh sebab itu, maka disimpulkan telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum dan Pidana oleh Oknum PWS dan Pertamina yg Kolusi bersama.
Pertamina dan PWS Kolusi bersama utk mengeluarkan uang Negara sejumlah US$ 6.4 juta ( pembayaran tahap II) utk mendapatkan asset yg tak benar. Total kerugian Negara/Pertamina adalah sebesar US$ 12.8 juta (Rp. 115 milyar) karena pembayaran atas Asset Bodong dari PWS. Para pelaku di PWS adalah : Made Surayadana (Dirut PWS/Dirut VDHTS), Asrul Sani SH (Kuasa Hukum PWS/VDHTS), Sandiaga Uno.
Sandiaga Uno adalah Pemegang Saham 100% VDHTS yang mana juga merupakan Pemegang Saham 100% PT. PWS, penerima uang Korupsi tsb. Indikasi keterlibatan Sandiaga Uno dalam Pemalsuan Sertifikat HGB No. 31 tsb sangat jelas karena Sandiuno mengetahui adanya HGB Asli. Bahkan Sandiuno dalam suratnya kepada Johanes Kotjo ketika menanyakan Sertifikat tsb, Sandiaga uno mengatakan ada pada Edward Suryajaya. Artinya Sandiaga Uno yg sebenarnya telah mengetahui Sertifikat HGB Asli ada pada Edward Suryajaya, tapi sengaja nyatakan hilang. Ketika Edwar Suryajaya melaporkan hal ini ke polisi, Edward nyata2 dapat menunjukan sertifikat asli HGB No. 31 tsb.
Pertanyaannya : Kenapa kasus ini bisa mangkrak di Kejaksaan Agung? Siapa yg hambat proses hukum atas pidana korupsi dan pemalsuan ini? Apakah demikian saktinya Sandiaga Uno sehingga dia kebal hukum dan tidak dapat disentuh? Mau jadi apa negara ini ??
Sekian dulu ..terima kasih. Nanti saya lanjutkan kembali tentang dugaan2 tindak pidana korupsi sandiaga Uno di Republik ini..MERDEKAA !
Salam Kritis... Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar